Foto: Manga One Piece volume 974. [Eichiro Oda]
Habar Kaltim.co.id–Sewaktu pameran Manga Jepang dilaksanakan di British Museum London pada 2019 lalu, Christine Ro seorang editor sekaligus penulis bermacam topik internasional melihat bagaimana bentuk narasi dan visual manga dapat memengaruhi dunia.
Manga dan anime (animasi Jepang) menawarkan paparan formatif pertama terhadap budaya bagi banyak orang di seluruh dunia, melansir tulisan Ro pada BBC.
Dilansir dari National Geographic, hal ini juga berlaku pada kartunis Korea Yeon-sik Hong, yang mendokumentasikan kisah keluarganya untuk mencapai keseimbangan antara kehidupan dan pekerjaan melalui karya Uncomfortably Happily.
“Ketika saya memikirkan budaya Jepang, hal pertama yang muncul di pikiran saya adalah manga dan anime. Banyak orang Korea tidak memiliki pengetahuan tentang komik dan animasi akan berpikir dengan cara yang sama. Saya pikir keduanya mewakili budaya Jepang,” tulis Ro mengutip Hong di halaman BBC.com (12/06/2019).
Hong percaya, meskipun hubungan Korea-Jepang rumit karena invasi Jepang di masa silam, tapi kedua negara ini juga memiliki kedekatan geografis dan pemahaman budaya pop. Tentu saja ada beberapa perbedaan di kedua sisi. Komik Korea di Jepang cenderung dilokalkan, atau diasah dengan desain Korea dan elemen bahasa mereka.
Warisan kolonial juga memengaruhi penerimaan manga di negara Timur Tengah. Alexandra Gueydan-Turek, seorang profesor studi Prancis dan Francophone di Swarthmore College AS, melihat bahwa manga adalah cara yang berguna bagi negara-negara pascakolonial untuk bergulat dengan identitas budaya mereka sendiri.
Dia menelusuri kelahiran Dz-manga, atau manga Aljazair, ke tren yang bermakna ganda. Jepang yang memiliki letak geografi yang jauh dan tidak memiliki kesamaan sejarah justru menghadirkan alternatif bagi dominasi tradisional Prancis di Aljazair. Gueydan-Turek melihat ini sebagai hal yang positif bagi budaya Aljazair.
Senada dengan Gueydan-Turek “manga adalah cara bagi mereka untuk menemukan budaya yang jauh dari Aljazair”, tutur Salim Brahimi, direktur penerbit manga Aljazair Z-Link.
“Cara besar bagi orang Aljazair untuk menemukan dan menghayati budaya Jepang adalah lewat manga, meskipun bentuk-bentuk budaya Jepang lainnya, seperti video game dan makanan, juga telah ditemui,” imbuh Brahimi.
Z-Link sendiri menerbitkan judul-judul manga dalam bahasa Arab, Prancis dan Berber, serta majalah Laabstore, yang didedikasikan untuk manga, anime, dan permainan.
Minat Prancis sudah berlangsung lama dengan budaya Jepang. Dari akhir abad ke-17, kolektor Prancis mengambil barang-barang Jepang yang secara keliru dikategorikan sebagai ‘chinoiseries’ (etnis cina) seperti lemari berpernis. Ini kemudian diperluas ke ‘ukiyo-e’, atau cetakan balok kayu, yang ekspornya membantu mendorong kegemaran Japonisme di Eropa. Jejak-jejak balok kayu ini juga merupakan prekursor awal manga modern.
Di Prancis era modern, Jepang telah berbaur dengan budaya bande dessinée, atau komik Prancis dan Belgia. “Popularitas manga saat ini [ada] secara umum ditelusuri pada maraknya anime di TV Prancis pada pertengahan 1970-an dan 1980-an,” menurut Gueydan-Turek. Di mana aspek-aspek seperti kawaii (budaya kelucuan) digemari publik Prancis seperti seri manga Chi’s Sweet Home.
Susan Napier yang mengajar studi Jepang di Tufts University di AS mengatakan “dunia anime dan manga adalah dunia Jepang dan dunia fantasi lain. Ia bermain di kedua register sebagai budaya asli yang ada dan juga budaya lain ini yang dapat mereka ubah di mata dan pikiran mereka. Menurut saya sangat khas dari seseorang seperti Van Gogh. ” Kelenturan budaya manga adalah salah satu alasan ia melintasi batas dalam berbagai bentuk menurutnya.
“Manga sekarang menjadi bahasa internasional,” tegas Nicole Coolidge Rousmaniere, seorang kurator seni Jepang di British Museum dan seorang profesor seni dan budaya Jepang di University of East Anglia di akhir tulisan Ro.(*)