Oleh: Muhammad Hendri Yanova, S.H., M.H. | Legal Konsultan AMZ & Associates
Penumpukan perkara dan proses penyelesaian yang berlarut-larut adalah alasan utama menimbulkan kekhawatiran kepada hak-hak korban tidak diketahui sampai kapan dalam proses hukum. Sedangkan dalam sistem peradilan di Indonesia menganut asas peradilan cepat sederhana dan biaya ringan. Partisipasi dari masyarakat seakan tidak menjadi penting lagi, semuanya hanya bermuara pada putusan pengadilan dalam bentuk pemidanaan (punishment).
Menurut Anggota Polri Bidang Hukum Polda Kalsel Kompol Saparyanto, S.H., M.H. berpendapat “begitu krusialnya masalah restoratif justice ini sehingga Institusi penegakan hukum baik Kepolisian, Kejaksaan, maupun Kehakiman masing-masing memiliki aturan internal tentang restoratif justice itu sendiri seperti Perpol No. 8 Tahun 2021, Perja No. 15 Tahun 2020, dan Perma No. 2 Tahun 2012. Ini dimaksudkan untuk mengurangi banyaknya perkara pidana yang masuk ke Pengadilan guna mempercepat penyelesaian masalah terhadap perkara tertentu, diantaranya perkara yang dinyatakan sebagai Tipiring, bukan merupakan perbuatan pengulangan, tidak menimbulkan korban nyawa, bukan tindak pidana korupsi, membahayakan keamanan negara, terorisme/radikalisme dengan persyaratan tertentu, yaitu tidak ada keresahan ataupun penolakan dari masyarakat, tidak berdampak pada konflik sosial, serta tidak berpotensi membelah persatuan bangsa yang diakomodir dalam bentuk adanya permaafan (kesepakatan damai) dari korban, mengembalikan barang kepada pemiliknya, adanya ganti kerugian akibat yang ditimbulkan, dsb. Dengan pertimbangan diatas tidak menutup kemungkinan kedepan akan ada dan dibentuk Badan/Lembaga restoratif justice sebagaimana Lembaga Arbitrase dalam perkara perdata dengan menyesuaikan tatanan sistem kenegaraan”.
Pada dasarnya hukum itu dibuat berdasarkan keadilan, kepastian, dan kemanfaatan. Restoratif Justice di Indonesia sendiri, secara terpisah dapat dijumpai seperti di dalam undang-undang nomor 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Peraturan Polri No. 8 Tahun 2021. Peraturan Kejaksaan Nomor 15 Tahun 2020 Tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif. Nota kesepakatan bersama Ketua Mahkamah Agung RI, menteri Hukum dan HAM, jaksa agung RI dan kepala kepolisian negara RI tentang pelaksanaan penerapan penyesuaian batasan tindak pidana ringan dan jumlah denda, acara pemeriksaan cepat, serta penerapan restoratif justice.
Dari beberapa ketentuan yang disebutkan, ketentuan tentang restoratif justice ini belum ada payung hukum yang secara khusus dalam bentuk Undang-undang. Misalkan Undang-Undang No. x Tahun xxxx tentang Restoratif Justice. Hal seperti ini menimbulkan disharmonisasi mau berkiblat dari ketentuan yang mana, dan konsekuensinya pun bagaimana?
Terdapat lima prinsip dalam keadilan restoratif justice. Pertama, menekankan terhadap bahaya dan konsekuensi yang ditimbulkan oleh tindak pidana itu pada korban, masyarakat, dan pelakunya. Kedua, menekankan prinsip tindak pidana yang terjadi pada subjek seperti keluarga, pelaku, korban, dan masyarakat. Ketiga, menekankan proses kolaboratif yang memposisikan diri pelaku ke dalam posisi korban. Keempat melibatkan para pihak tertentu dalam perkara seperti pelaku dan korban, keluarga, tokoh atau komunitas masyarakat yang dianggap secara sah dapat terlibat dalam proses tersebut. Kelima adalah prinsip memperbaiki kesalahan.
Restoratif justice sebagai pedoman diharapkan dapat menyeimbangkan antara aturan yang berlaku dengan perkara yang bertumpuk. Kemudian dapat mengimplementasikan asas kemanfaatan, kepentingan korban, dan kepentingan hukum, penghindaran stigma negatif, penghindaran pembalasan, serta bagaimana arah respon dan harmonisasi masyarakat. Kepatutan kesusilaan dan ketertiban umum suatu hal yang perlu diperhatikan adalah subjek, objek, kategori dan ancaman tindak pidana, kerugian atau akibat yang dialami atau diderita oleh korban dan adanya pemulihan kembali keadaan semula, serta adanya perdamaian antara korban dengan pelaku.
Salah satu gerakan yang dilakukan Jaksa Agung RI ST Burhanuddin membuat program Rumah restoratif justice tiap daerah. Dengan adanya Rumah restoratif justice ini diharapkan dapat menjadi jembatan alternatif penyelesaian kasus tindak pidana ringan untuk mewujudkan keadilan hukum. Contohnya yang telah berhasil dilakukan restoratif justice di wilayah Kalimantan Selatan yakni seperti:
- Kejaksaan Negeri Banjarmasin perkara 351 KUHP, jaminan fidusia
- Kejaksaan Negeri Kab. Banjar perkara psl. 362 KUHP
- Kejaksaan Negeri Tapin perkara psl. 362 KUHP
- Kejaksaan Negeri Tanah Laut perkara psl. 351 KUHP
- Kejaksaan Negeri HSU perkara psl. 351 KUHP
- Kejaksaan Negeri HST perkara psl. 362,480(1) KUHP
- Kejaksaan Negeri Tabalong perkara psl. 351(1) KUHP
Adapun saran dari penulis mengenai pengaturan restoratif justice di Indonesia diharapkan dapat terkemas secara sistematis mempunyai payung hukum dalam tataran Undang-undang. Dalam prakteknya aparat penegak hukum, seluruh pihak terkait, dan masyarakat dapat berkoordinasi serta bersinergi untuk tetap menjaga marwah dari penegakan hukum, dan proses penyelesaian perkara pidana. Kemudian pihak terkait dapat melakukan sosialisasi kepada masyarakat memberikan pemahaman mengenai restoratif justice. Dan tidak menutup kemungkinan kedepannya berdiri suatu Lembaga/badan khusus Restoratif justice dengan menyesuaikan tatanan sistem kenegaraan.
Rasa keadilan itu tidak ada di buku, tidak ada di KUHP, Tidak ada di KUHAP, Rasa keadilan itu ada di hati masyarakat mengutip Jaksa Agung RI ST Burhanuddin.