Oleh : Muhammad Hendri Yanova, S.H., M.H. | Legal Konsultan AMZ & Associates
Keberhasilan para penegak hukum bukan hanya diukur dari berapa kasus yang diangkat dan bukan hanya berapa orang dipenjarakan disampaikan Presiden RI Joko Widodo, pada pidato kenegaraan dalam rangka HUT Ke-74 Kemerdekaan RI.
Masyarakat sedang dihebohkan dengan gencarnya sosialiasi Peraturan Kepolisian Negara Republik Indonesia (Perpol) Nomor 08 Tahun 2021 tentang Penanganan Tindak Pidana berdasarkan Keadilan Restoratif. Yang dimana menawarkan konsep penyelesaikan perkara pidana berdasarkan keadilan restoratif. Restoratif justice sendiri difokuskan pada hak asasi manusia dan kebutuhan untuk mengenali dampak dari ketidakadilan sosial dan mekanisme yang sederhana untuk mengembalikan mereka. Restoratif justice juga mengupayakan untuk me-restore keamanan korban, penghormatan pribadi, martabat, dan yang lebih penting adalah sense of control.
Terobosan seperti ini sangat kita apreseasi, karena Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia (Kapolri) Listyo Sigit Prabowo mengakomodir dan memberikan ruang kepada masyarakat agar terciptanya rasa berkeadilan. Hal ini merupakan segelintir dari penerapan restoratif justice.
Restoratif justice sebenarnya merupakan perspektif filosofis tentang keadilan dan bagaimana keadilan dapat diperoleh oleh masyarakat yang terkena tindak pidana. Sistem peradilan pidana saat ini hampir seluruhnya berfokus pada pelaku. Tujuan dari restoratif justice masih untuk meminta pertanggungjawaban pelaku atas kerugian yang mereka timbulkan, tetapi juga berfokus pada menemukan kedamaian yang berimplikasi untuk masa depan. Kita bisa mendapatkan lebih banyak kemajuan sosial, perdamaian, dan keadilan dengan cara penyembuhan seperti keadaan semula daripada dengan hukuman. Restoratif justice proses yang dapat mengimplementasikan norma-norma yang lebih mencerminkan pembelajaran sosial.
Menurut Jaksa Agung RI ST Burhanudin, konsep pendekatan restoratif justice merupakan suatu pendekatan yang lebih menitikberatkan pada kondisi terciptanya keadilan dan kemanfaatan bagi pelaku tindak pidana serta korbannya sendiri yang sejalan dengan asas keadilan dan asas kemanfaatan hukum. Pergeseran perkara pidana melalui litigasi prakteknya kadangkala melenceng dari tujuan hukum seperti pola pemidanaan bersifat pembalasan.
Mekanisme beracara dan Peradilan Pidana berfokus pada pemidanaan diubah menjadi proses bermusyawarah sebagaimana implementasi dari Pancasila Sila ke-4 dan mediasi untuk menciptakan penyelesaian perkara pidana yang lebih adil dan bermanfaat bagi pihak korban dan pelaku.
Namun, tidak menutup kemungkinan hal yang harus diperhatikan ketika dilihat dari sisi psikologis pelaku apabila pelaku mengalami gangguann kejiwaan Kleptomania atau gangguan kontrol impuls yang menghasilkan dorongan tak tertahankan untuk mencuri. ia menyadari bahwa yang dilakukannya itu salah, bisa melukai dirinya ataupun orang lain. Tapi ia tidak bisa menahan diri untuk tidak mencuri barang tersebut. Sehingga pelaku ini tidak seharusnya dihukum melainkan terapi psikologis layaknya rehabilitasi.
Berangkat dari sejarah konsep restoratif justice sudah tercermin dalam praktik masyarakat adat istilahnya “bedamai” seperti di daerah hulu sungai kakek penulis (1980an) dan bapak penulis (1990/2000an) pernah menjadi pihak penengah untuk mendamaikan orang-orang yang sedang berkonflik seperti perkelahian biasa. Jadi pihak penengah ini melakukan pertemuan dengan kedua belah pihak keluarga, tokoh masyarakat, tokoh agama, tokoh adat, kemudian bermusyawarah kalau istilah banjarnya “bepandiran”. Ketika disetujui untuk melakukan pertemuan ditempat salah satu pihak atau tempat tokoh masyarakat maka diketemukanlah kedua belah pihak untuk bermusyawarah. Biasanya untuk mendamaikan dilakukan “beangkatan dingsanak” oleh kedua belah pihak. Dengan beangkat dingsanak ini mereka dianggap mempunyai hubungan keluarga, dengan adanya hubungan keluarga ini diharapkan dapat mendamaikan, mempererat tali silaturahim dan tetap bertanggungjawab. Beangkatan dingsanak tidak hanya dilakukan saat terjadi konflik saja. Pada dasarnya kembali lagi ke para pihak yang bersangkutan.
Restoratif justice atau sering diterjemahkan sebagai keadilan restoratif, merupakan suatu model pendekatan yang muncul pada era tahun 1960-an dalam upaya penyelesaian perkara tindak pidana, yang berbeda dengan pendekatan yang dipakai dalam sistem peradilan pidana konvensional, pendekatan ini menitik beratkan pada adanya partisipasi langsung pelaku tindak pidana, korban dan masyarakat dalam proses penyelesaian perkara pidana. Terlepas dari kenyataan bahwa pendekatan ini masih diperdebatkan secara teoritis akan tetapi pandangan ini dalam kenyataannya berkembang dan banyak mempengaruhi kebijakan hukum dan praktik di berbagai Negara salah satunya di Indonesia. Indonesia sebagai bangsa yang beradab perlu menjalankan fungsi hukumnya secara bermartabat. Mengutip dari Muhammad Erwin melalui bukunya Filsafat Hukum, Refleksi Kritis Terhadap Hukum terbitan tahun 2012 halaman 132.(maa)